Mikronutrien adalah
zat gizi yang diperlukan oleh tubuh manusia selama hidupnya dalam jumlah kecil
untuk melaksanakan fungsi-fungsi fisiologis, tetapi tidak dapat dihasilkan
sendiri oleh tubuh. Mikronutrien terdiri dari vitamin dan mineral yang tidak
dapat dibuat oleh tubuh tetapi dapat diperoleh dari makanan. Walaupun
dibutuhkan dalam jumlah kecil, tetapi berperan dalam pertumbuhan dan
perkembangan manusia.
World Health Organization (WHO)
mendefinisikan anemia jumlah hemoglobin darah kurang dari 7,7 mmol/l (13 g/dl)
pada pria dan 7,4 mmol/l (12 g/dl) pada wanita. Studi diagnosis besi untuk
anemia zat besi pada wanita terdiri dari hemoglobin rendah (7,4 mmol/l), besi
serum rendah (< 7,1 mg/l), serum ferritin rendah (< 30 ng/l), saturasi
transferin rendah (< 15%) dan total kapasitas pengikatan besi (> 13,1
µmol/l). Anemia merupakan pengurangan jumlah sel
darah merah, kuantitas hemoglobin, dan volume darah pada sel darah merah
(hematokrit) per 100 ml darah. Anemia yang disebabkan oleh faktor luar tubuh, yaitu kekurangan salah satu zat
gizi. Salah
satu zat gizi mikro yang berperan adalah zat Besi (Fe). Anemia
kekurangan zat besi adalah penyebab paling umum anemia di dunia. Sekitar 5% dan
2 % dari wanita dan laki-laki Amerika masing-masing memiliki kekurangan zat
besi (Clark, 2009 ; Locker et al. 1997).
Besi adalah salah satu unsur yang
sangat dibutuhkan dalam berbagai metabolisme sel tubuh. Dalam tubuh orang
dewasa terdiri 3 – 4 g besi. Pada kebutuhan diet masyarakat Barat sekitar 7 mg besi per 100 kkal, namun hanya 1
– 2 g yang bisa diserap setiap hari. Kebutuhan zat besi pada manusia terbagi
atas Besi heme dan Besi non-heme. Heme berasal dari daging dan diserap dengan
baik dalam tubuh. Enzim pada pankreas mencerna heme sehingga bebas dari molekul
globin dalam lumen usus. Besi kemudian diserap ke dalam enterosit sebagai
metalloporphyrin dan terhidrasi oleh enzim heme-1-oxygenase untuk melepaskan
besi non-heme. Selanjutnya besi diangkut oleh ferroportin melalui basolateral dari
enterosit. Besi non-heme yang terdapat dalam sereal, kacang-kacangan, dan
beberapa sayuran kurang baik diserap dalam tubuh. Dimana zat besi non-heme
terbagi atas ferri (Fe2+) dan ferro (Fe3+). Adanya asam lambung dan
makanan tertentu akan dapat meningkatkan bioavailabilitas besi non-heme dalam
tubuh. Seperti halnya vitamin C dapat mencegah terjadinya presipitasi besi
dalam usus duodenum (usus duabelas
jari) dan makanan yang mengandung tanin diketahui akan mengurangi penyerapan
zat besi non-heme (Zhang dan Enns, 2009; Schmaier and Petruzzelli, 2003; Conrad
dan Umbreit, 1993).
Setelah masuk ke dalam sel, besi ferro akan disimpan sebagai ferritin
atau transfer sel dari enterosit ferroportin berada. Ferroportin dihasilkan
dalam mukosa usus kecil, makrofag, hepatosit dan plasma sincytiotropoblas.
Ferroportin bersama dengan ceruloplasmin dan hephaestin membantu terjadinya
reoksidasi besi ferro menjadi besi ferri. Transferin memiliki afinitas yang
tinggi untuk mengikat besi sehingga tidak ada ion besi yang bebas dalam plasma.
Transferin akan mengikat besi melalui jalur reseptor apotransferin. Setelah
dalam plasma besi diangkut oleh tranferin ke sumsum tulang untuk sistesis
hemoglobin dan penggabungan ke dalam
eritrosit. Eritrosit normal akan beredar selama 120 hari sebelum mengalami
degradasi. Sel-sel darah marah akan diserap oleh makrofag dalam sistem
retikuloendotelial, terutama dalam limpa dan hati dimana akan mengalami
degradasi secara katabolik oleh enzin sitosol-1-hemeoxygenase untuk melepaskan
ikatan besi. Sekitar 70 % dari total besi dalam senyawa heme (misalnya
hemoglobin dan mioglobin), 29 % disimpan sebagai ferritin dan hemosiderin, < 1 % dimasukan ke dalam heme yang
mengandung enzim (misalnya sitokrom, katalase, peroksidase), dan < 0,2 %
ditemukan bersedar di plasma terikat dengan transferin (Zhang dan Enns, 2009;
Schmaier and Petruzzelli, 2003).
Sistem metabolisme tersebut akan
senantiasa dikontrol oleh hepcidin, hormon yang disitesis dalam hati, disekresi
ke dalam darah, dan secara sistematik mengontol laju penyerapan dan mobilisasi
zat besi dalam tubuh. Seperrti terlihat pada gambar di bawah ini:
Hepcidin mengikat dan mengaktifkan
fungsi ferroportin. Dimana enzim janus-2-kinase diaktifkan pada pengikatan
hepcidin untuk mengaktifkan fungsi ferroportin. Sistesis hepcidin akan
diregulasi oleh sitokin, sehingga terlepas total tingkat zat besi dalam tubuh.
Hubungan ini kemungkinan besar menjadi jumlah perkembangan penyakit anemia
kronis.
Di negara berkembang, rendahnya
bioavailabilitas besi dari diet makanan menjadi penyebab utama anemia
kekurangan zat besi (berger dan Dillon, 2002; Yip dan Ramakrishnan, 2002).
Namun dalam perkembangan suatu negara, penurunan penyerapan zat besi dan
kehilangan darah kronis lebih mungkin menjadikan penyebab kekurangan zat besi.
Penurunan penyerapan zat besi secara etiologi bisa disebabkan dari sindrom
malabsorpsi terutama pada penyakit celiac,
yakni penyakit yang tidak dapat mencerna makanan yang mengandung protein
(Bermejo dan Garcia-Lopez, 2009). Pascaoperasi gastrektomi dan reseksi usus
juga dapat menimbulkan anemia defisiensi besi sekunder terhadap penurunan
penyerapan zat besi. Etiologi paling umum dari anemia kekurangan zat besi pada
premenopause perempuan adalah menstruasi yang berlebihan. Pendarahan
gastrointestinal juga penyebab umum dari amenia defisiensi besi, apakah
pendarahan adalah akut atau kronik.
Anemia defisiensi besi juga sangat
berhubungan dengan defisiensi mikronutrien lain seperti vitamin A, riboflavin,
asam folat dan vitamin B12. Infeksi parasit pada usus dapat menyebabkan
malabsorbsi zat gizi seperti vitamin A, asam folat dan vitamin B12. Suplementasi
vitamin A pada individu yang defisiensi vitamin A akan meningkatkan kadar Hb
kira-kira 10 gr/l. Pada beberapa hasil penelitian penambahan vitamin A akan
meningkatkan respon Hb pada suplementasi Fe. Suplementasi per minggu dengan
23.000 IU vitamin A sebagai retinol atau beta karoten akan menurunkan
prevalensi anemia sampai 45 % pada wanita. Asupan riboflavin dan penyerapan. Defisiensi
riboflavin membuat defisiensi besi tambah buruk dengan meningkatnya kehilangan
besi, menurunnya absorbsi besi, perusakan besi interseluler, dan meningkatnya
proliferasi crypt cell.
Defisiensi asam folat terutama
menyebabkan gangguan metabolisme DNA, akibatnya terjadi perubahan morfologi
inti sel terutama sel-sel yang sangat cepat membelah seperti sel darah merah,
sel darah putih serta sel epitel lambung dan usus, vagina dan serviks.
Kekurangan asam folat berkaitan dengan berat lahir rendah, ablasio plasenta dan
neural tube defect. Defisiensi vitamin B12 hampir sama dengan asam folat yaitu menyebabkan
anemia makrositik. Manifestasi defisiensi vitamin B12 terjadi pada tahap awal
dengan konsentrasi serum yang rendah kemudian ada indikasi transcobalamin II
yang rendah, pada tahap berikutnya konsentrasi vitamin dalam sel yang rendah
dan selanjutnya defisiensi secara biokimia dengan terjadinya penurunan sintesis
DNA (Groff, et al, 2005). Anemia pernisiosa yang disertai rasa letih yang parah
merupakan akibat dari defisiensi vitamin B12. Vitamin B12 ini sangat penting
dalam pembentukan RBC (Red Blood Cell).
Di negara berkembang prevalensi defisiensi vitamin B12 ditemukan pada semua
umur. Hal ini disebabkan intake makana yang rendah.
Referensi :
1. Johnson D.T. et al. 2011.Diagnosis and Management of Iron Deficiency
Anemia in The 21st Century. Baylor Collage of edicine, Houston, Texas,
USA.
2. Laillou A. et al. 2012.Micronutrient
Are Still Public Health Issues among Woman and young Children in Vietnam.
Glocal Alliance for Improved Nutrition (GAIN), Geneva, Switzerland.
0 comments:
Post a Comment